|
Merindukan Senja |
Senja
sore ini memancarkan keindahan khasnya tapi sebentar lagi sinarnya akan sirna
ditelan gelapnya malam. Tak perluk khawatir! karena esok sore, sama seperti
sore ini, senja masih dapat kita nikmati lagi keindahannya. Begitu pula sebuah
kehidupan, dikala kesedihan telah datang menjelma, namun esok pasti akan ada
harapan akan kebahagiaan.
Sore
ini aku melihat cahaya senja, sinarnya indah menyejukkan jiwa. Bisa kau lihat
juga di ujung sana. Namun, hal ini mengingatkan aku akan sesuatu. Kesendirian,
ya sekarang aku merasa sangat kesepian.
Aku
seorang gadis berumur 19 tahun. Aku ingin dewasa sejalan dengan umurku. Tak
perlu memiliki sifat seperti anak kecil yang menghabiskan banyak waktunya untuk
bermain bersama teman sebaya, tak juga harus seperti seorang yang telah dewasa
melebihi umurku, yang harus mengurus keluarga kecilnya. Memikirkan masalah
ekonomi dan tetek bengeknya.
Sejak
kecil aku selalu diselimuti dengan kasih sayang, rumah yang orang tuaku bangun
telah menjadi surga dalam hidupku. Surga yang mungkin orang lain tak pernah
mendapatkannya. Namun itu dulu, ketika aku masih kecil. Menapaki umurku yang
remaja kini semua semakin terasa berubah.
Terlahir
menjadi anak dari keluarga yang broken home tak pernah sedikitpun terpikirkan
olehku. Tapi ini nyata, aku yang belum bisa dengan lapang dada menerima
kenyataan ini. Kenyataan yang sangat pahit. Madu termanispun tak dapat
menghilangkan kepahitannya.
Orang
tuaku resmi bercerai ketika aku remaja,
remaja yang tahu benar apa arti sebuah perceraian. Memang benar puncak
sebuah kebahagiaan akan kita dapatkan apabila kita bisa melewati sebuah ujian,
namun orang tuaku lain. Mereka memilih jalan yang berbeda, atau dengan kata
lain mereka tak dapat melewati ujian itu dan alhasil perceraianpun terjadi.
Mungkin
kalian berpikir, masa perceraian itu ketika aku SMP atau awal masuk SMA. Namun
harus kalian ketahui, masa itu terjadi ketika aku kelas 3 SMA. Disaat anak-anak
lain mendapatkan banyak wejangan dari orang tua mereka, untuk lebih rajin lagi
dalam belajar, aku justru lain. Aku
mendapatkan nyanyian yang sangat memekakkan telingaku. Nyanyian yang selalu
mereka nyanyikan sebelum aku terbangun dan aku tak tahu kapan nyanyian itu akan
berhenti. Karena aku tertidur sebelum nyanyian itu memiliki tanda-tanda akan
berhenti.
Try
out, ya test uji coba untuk mengetahui apakah kita lulus ujian nasional atau
tidak. Pembagian hasil try out pertamaku
menyatakan aku gagal atau sama artinya dengan tidak lulus, try out kedua juga
gagal, ketiga dan keempatpun tak jauh berbeda selalu gagal. Aku tak pernah
menyalahkan orang tuaku dalam hal ini, mungkin aku saja yang kurang
berkonsentrasi tapi memang tak bisa dipungkiri bahwa mereka juga ikut andil
dalam hal ini. Nyanyian yang selalu mereka nyanyikan setiap hari telah
mengambil paksa rumus yang telah aku simpan dalam memori, rumus itu
berterbangan, melayang-layang seirama dengan nada yang mereka nyanyikan.
Tiba
saat pengumuman ujian nasional. Dimana masa depanku di tentukan oleh
angka-angka pada selembar kertas. Ya seperti kertas ini. Hasil ujianku berbeda
dari hasil try outku. Memang ujian nasionalku lulus, namun nilai rata-rataku
tak lebih dari 5,6 Iya tak lebih dari 5,6. Aku yang setiap tahunnya selalu
masuk 3 besar di kelas harus bisa menerima kenyataan ini. Alhasil aku harus
mengubur jauh impianku masuk perguruan tinggi negeri, mungkin takdirku hanya
bersekolah di perguruan tinggi swasta.
Ah
sudah lah, tak usah mengingat masa yang dulu. Cukup hanya sebagai kenangan saja
tak perlu aku ungkit lebih jauh lagi. Yang terpenting impian aku untuk
bersekolah di perguruan tinggi negeri kini sudah terkabul. Karena aku percaya
akan ada kebahagiaan yang datang setelah kesedihan, dan itu semua terbukti.
Sama seperti senja yang selalu aku nantikan kedatangannya.